Monday, June 25, 2007

Piagam Jakarta dirubah demi Negara “semua buat semua”

Memperkuat posisi semangat Kebangsaan berdasarkan persepsi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bawah ancaman perpecahan yang timbul karena semangat untuk mengubah kontrak sosial “Pancasila” yang kita kenal sekarang menjadi sebuah ideologi yang baru ataupun juga dalam melaksanakan peraturan-peraturan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang cuman karena alasan “mayoritas” diaplikasikan biarpun jelas-jelas sangat bertentangan dengan Pancasila. Hal ini perlu diantisipasi dengan membangun potensi bangsa, dengan mengingat akan catatan sejarah akan semangat dan ketekunan “Founding Father” dalam merumuskan asas dan dasar NKRI. Sehingga didalam potensi bangsa Indonesia itu terjaga Kebangsaan yang kokoh di dalam ke-Bhineka Tunggal Ika-an, yang adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa bagi "Bangsa-Bangsa" yang sudah bersumpah Satu Bangsa, Bangsa Indonesia; Satu Bahasa, Bahasa Indonesia; Dan satu Tanah Air, Tanah Air Indonesia. Sehingga wajiblah bagi setiap anak bangsa untuk selalu ingat akan sumpah yang dikenal dengan sebutan “Sumpah Pemuda” itu. Dan sebagai buah dari "Sumpah Pemuda" patutlah untuk kita diingatkan kembali bahwa Piagam Jakarta dirubah demi Negara ”semua buat semua”.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pada era Hindia Belanda tokoh-tokoh pergerakan kita memiliki pandangan yang masih terbagi dua tentang hubungan Negara dan Agama. Golongan yang berpandangan Negara hendaknya “Netral” terhadap Agama disebut golongan Kebangsaan sedangkan golongan yang berpandangan “Urusan Negara” tidak bisa dipisahkan dari “Urusan Agama” disebut golongan Islam.

Lalu pada masa Jepang Golongan Kebangsaan tergabung dalam “Jawa Hokokai” sedangkan golongan Islam tergabung dalam “Masyumi”. Golongan Kebangsaan sendiri kalau diperinci akan terbagi menjadi dua yaitu golongan yang sepenuhnya memisahkan Urusan Negara dan Urusan Agama, seperti Drs. Moh. Hatta dan Prof. Mr. Dr. Soepomo adalah pendukung golongan ini, dan golongan yang tidak sepenuhnya memisahkan Urusan Negara dengan Urusan Agama, pendukungnya ialah Ir. Soekarno, Mr. Muh. Yamin, H. Agoes Salim, R.Abikoesno Tjokrosoejoso, Mr. A. A. Maramis dan Mr. A. Soebardjo.

Sedangkan dalam sidang pertama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), yang berlangsung pada tanggal 29 Mei s/d 1 Juni 1945, kita dapat membagi anggota BPUPK menjadi dua golongan saja, yakni “Golongan Nasionalis” dan Golongan Islam” atau Golongan “Nasionalis Sekuler” dan Golongan “Nasionalis Islam”. Pendukung golongan “Nasional Sekuler” hampir semuanya beragama Islam kecuali 3 orang yang tidak beragama Islam yaitu: Mr. A. A. Maramis, Mr. J. Latuharhary dan P.F. Dahler.

Dalam membahas dasar-dasar Indonesia Merdeka, segi agama mendapat perhatian khusus terutama dari Golongan Islam / Golongan Nasionalis Islam. Dari anggota Golongan Nasionalis Islam ingin melaksanakan Syariat Islam dengan sungguh-sungguh, sehingga Negara akan berbentuk “Negara Agama”. Dalam Golongan Nasionalis / Golongan Nasional Sekuler juga ada beberapa anggotanya yang mendukung konsep tersebut, sepertinya contohnya R.T.Abdul Rachim Pratalalykrama, R.A.A. Wiranatakusuma, dan Mr. R. Samsudin .

Pada tanggal 31 Mei 1945 dalam sidang BPUPK, Ki Bagoes Hadikoesoemo, mengusulkan dasar Negara hendaklah “Islam”, alasan ini diungkapkan karena 90% rakyat Indonesia Merdeka beragama Islam dan apabila Islam tidak menjadi dasar Negara dikuatirkan umat Islam di Indonesia nanti bersikap pasif atau dingin tidak bersemangat terhadap rencana kemerdekaan Indonesia. Usulan tersebut didukung oleh Abdoel Kahar Moezakkir, seorang abiturient mahasiswa Universitas Al Azhar di Kairo dan Komisaris partai Islam, dan hal itu diungkapkan dengan semangat yang berapi-api. Saran dari mereka ditanggapi oleh Mr. Johannes Latuharhary, seorang tokoh Golongan Nasionalis Sekuler dari Maluku yang kemudian menjadi Gubernur Pertama di Maluku, tanggapannya hanya singkat namun tegas. Dia mengatakan bila BPUPK nanti menetapkan bahwa dasar Indonesia Merdeka adalah “Islam”, dia akan mengundurkan diri dari sidang dan selanjutnya tidak ikut bertanggung jawab. Tanggapan itu membuat suasana sidang menjadi tegang.

Pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno atau yang lebih dikenal dengan panggilan Bung Karno menyampaikan pidatonya yang salah satu isi menyatakan bahwa : Kita hendak mendirikan suatu Negara ”semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya-tetap “semua buat semua”. Dengan dasar pikiran inilah Bung Karno mengemukakan 5 prinsip yang kemudian dinamakan Pancasila sebagai dasar Negara “semua buat semua” yaitu Kebangsaan Indonesia Internasionalisme-atau perikemanusian. Mufakat-atau demokrasi. Kesejahteraan sosial. Ketuhan-an yang berkebudayaan. Dan jikalau prinsip-prinsip ini diperas 5 menjadi 3, dan 3 menjadi 1, maka dapatlah satu perkataan yang tulen yaitu “GOTONG ROYONG”.

Tapi sampai akhir sidang pertama BPUPK, para peserta masih belum ditemukan kesepakatan untuk perumusan dasar Negara, Golongan Nasionalis Sekuler dan Golongan Nasionalis Islam masih melakukan tarik ulur terhadap Dasar Negara sehingga akhirnya oleh Ketua BPUPK Dr. K.R.T.Radjiman Wediodiningrat dibentuk Panitia Kecil “Resmi” atau yang biasanya disebut “Panitia Delapan” pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPK, yang dimana panitia tersebut bertugas mengumpulkan berbagai usulan dan masukan para anggota sebagai bahan perumusan Dasar Negara yang akan dibahas pada masa sidang BPUPK pada bulan Juli 1945. Anggota “Panitia Delapan” adalah :

  1. Ir. Soekarno (Ketua) (golongan Nasionalis Sekuler)
  2. Dr. Mohammad Hatta (golongan Nasionalis Sekuler)
  3. Mr. A.A. Maramis (golongan Nasionalis Sekuler)
  4. Mr. Mohammad Yamin (golongan Nasionalis Sekuler)
  5. M. Soetardjo Kartohadikoesoemo (golongan Nasionalis Sekuler)
  6. Otto Iskandardinata (golongan Nasionalis Sekuler)
  7. K.H. Abdoel Wachid Hasyim (golongan Nasionalis Islam)
  8. Ki Bagoes Hadikoesoemo (golongan Nasionalis Islam)
Dalam Panitia Delapan komposisi anggotanya lebih merepersentasikan kelompok “Nasionalis Religius”.

Lalu pada Masa Reses sidang BPUPK, Bung Karno pada tanggal 22 Juni 1945 berinsiatif mengumpulkan 38 anggota Cuo Sangi In yang merangkap menjadi anggota BPUPK dan anggota BPUPK yang bertempat tinggal di Jakarta untuk mengadakan “sidang” yang akan mengumpulkan usul-usul, dan disepakati dalam sidang tersebut yang diadakan di kantor besar Jawa Hokokai untuk membentuk panitia kecil “Tidak Resmi” yang beranggotakan 9 orang dalam rangka menyusun rancangan “Pembukaan Hukum Dasar”. Komposisi anggota dalam Panitia Kecil “Tidak Resmi” atau biasanya disebut “Panitia Sembilan”, panitia ini lebih mengarah kepada representasi kelompok “Islam Nasionalis”. Dan hasil rumusan Panitia Sembilan ialah Piagam Jakarta (Jakarta Charter) lahir pada tanggal 22 Juni 1945 juga, sedangkan tempat perumusan piagam tersebut di Pegangsaan Timur No. 56, rumah kediaman Bung Karno, piagam tersebut ditandatangani oleh anggota-anggota Panitia Sembilan yaitu:
  1. Ir. Soekarno (Ketua) (golongan Nasionalis Sekuler)
  2. Dr. Mohammad Hatta (golongan Nasionalis Sekuler)
  3. Mr. A.A. Maramis (golongan Nasionalis Sekuler)
  4. Mr. Mohammad Yamin (golongan Nasionalis Sekuler)
  5. Mr. Achmad Subardjo (golongan Nasionalis Sekuler)
  6. K.H. Abdoel Wachid Hasyim (golongan Nasionalis Islam)
  7. Abikusno Tjokrosuyoso (golongan Nasionalis Islam)
  8. H. Agoes Salim (golongan Nasionalis Islam)
  9. Abdoel Kahar Moezakkir (golongan Nasionalis Islam)
Piagam Jakarta dianggap sebuah naskah persetujuan atau suatu modus Vivendi antara golongan Nasionalis Islam dan golongan Nasionalis Sekuler yang berbunyi sebagai berikut :

PIAGAM JAKARTA

Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Piagam Jakarta tersebut lahir diluar sidang resmi BPUPK, oleh karena itu Mohammad Yamin mengatakan, sebagai tertulis dalam buku “Naskah Persiapan UUD 1945” jilid II halaman 72, bahwa Piagam Jakarta bukanlah bagian dari Konstitusi 1945, tetapi merupakan naskah politik atau naskah bersejarah yang beredar secara illegal. Disebut Ilegal karena Piagam Jakarta dirumuskan diluar kehendak Pemerintah Bala Tentara Jepang oleh “Panitia Kecil yang Tidak Resmi”.


Pada sidang kedua BPUPKI tanggal 10 Juli s/d 17 Juli 1945, Panitia Sembilan mengusulkan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang telah dicapai pada tanggal 22 Juni 1945 sebagai Mukadimah Undang-Undang Dasar yang akan disusun dan supaya dibahas pada hari itu juga. Tapi Dr. Radjiman Widioningrat Ketua BPUPK berpendapat lain, dan baru tanggal 14 Juli 1945 Konsep Pembukaan UUD dibahas. Dan konsep yang dibahas adalah konsep yang disampaikan oleh Bung Karno sebagai Ketua Panitia Perancang UUD dalam sidang BPUPK yang berbunyi sebagai berikut :

PEMBUKAAN

Dengan nama Allah, Pengasih dan Penyayang.

Untuk membentuk Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tapi pihak Pemerintah Bala Tentara Jepang menganggap bahwa BPUPK telah melakukan tugas yang bukan kewenangannya. Perumusan UUD termasuk pembukaan-nya adalah tugas dari Dokuritsu Junbi Iinkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sedangkan BPUPK hanya bertugas untuk menyelidiki usaha persiapan kemerdekaan saja.

Dan sehari setelah Proklamasi tanggal 18 Agustus 1945, PPKI yang dibentuk tanggal 7 Agustus 1945 bersidang untuk mengesahkan rancangan UUD. Atas saran Dr. Mohammad Hatta atau yang lebih dikenal dengan panggilan Bung Hatta sebagai Wakil Ketua PPKI menyatakan bahwa rumusan 14 Juli 1945 sebagai “pembukaan” yang pendek. Oleh karena itu disarankan agar dikembalikan pada rumusan “Panitia Sembilan”. Tapi perkembangan penting di masa itu adalah munculnya berita bahwa para tokoh Kristen dan Katolik di Indonesia bagian Timur keberatan bergabung dalam “proyek” Indonesia Merdeka jika Piagam Jakarta tidak “diubah”. Perubahan yang mereka tuntut adalah sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Penolakan itu terjadi karena dampak anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” ini mempunyai konsekuensi “konsistensi” dalam isi UUD seperti pasal mengenai “Presiden adalah orang Indonesia asli yang beragama Islam” Dan Pasal 29 yang diubah sehingga bunyinya kira-kira: “Agama Negara adalah Agama Islam”.

Intreprestasi dengan cara seperti itu juga yang membuat H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosoejosoe, dan Prof. Dr. P.A.H. Djayadiningrat menolak adanya “tujuh kata” itu.

Lalu dalam semangat Negara ”semua untuk semua” Bung Hatta berupaya melobi dan berkompromi dengan tokoh-tokoh pemimpin Islam seperti Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kasman Singodimedjo, Teoekoe M. Hasan, dan K.H.Wachid Hasjim. Dan pada akhirnya selesailah rumusan tentang asas Negara Republik yang bunyinya seperti rumusan Pancasila yang kita kenal sekarang ini dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945.

Dari lintasan sejarah diatas dapat kita lihat bagaimana “founding father” kita berjuangan untuk mencari Dasar Negara “semua untuk semua”. Biarpun pada awalnya semangat ke-ego-an setiap golongan sangat mengebu-gebu tapi akhirnya semangat kesetaraan tanpa melihat kelompok mayoritas maupun minoritas sangat terasa sekali dalam kesimpulan-kesimpulan yang diambil. Kita sebagai penerus Bangsa yang besar ini haruslah mampu menjabarkan sikap itu dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara, baik dalam pikiran maupun tindakan supaya Negara Kesatuan Republik Indoensia (NKRI) yang kita cintai ini tidak pecah.


Daftar Pustaka:
  • Silalahi, M.A, S. (2001). Dasar-Dasar Indonesia Merdeka versi Para Pendiri Negara. Jakarta: PT. Gramedi Pustaka Utama.
  • Tim Penerbit Buku Pancasila (2005). Pancasila Bung Karno. Himpunan Pidato, Ceramah, Kursus dan Kuliah. Jakarta: Paksi Bhinneka Tunggal Ika.


Perbedaan LUTHERAN dan CALVINISME

Lutheranisme dan Calvinisme adalah dua tradisi utama dalam Reformasi Protestan yang muncul pada abad ke-16. Meskipun keduanya berbagi bebera...