Thomas Matulessi lahir ditengah-tengah penderitaan rakyat Maluku yang ditindas oleh VOC, yaitu pada tanggal 8 Juni 1783 di Saparua dari seorang ayah yang bernama Frans Matulessi dan ibu bernama Fransina Silahoi.
Het Fort Duurstede - Saparua |
Tapi kekuasaan Inggris di tanah Maluku tidak bertahan lama, tahun 1803 Napoleon tertangkap dan Inggris harus mengembalikan Ambon, Haruku, Saparua, Banda dan kepulauan Maluku lainnya kepada Belanda sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh Inggris dan Belanda. Thomas Matulessi ketika itu sudah berumur 20 tahun.
Dengan kembalinya Belanda berkuasa di Maluku maka kembali lagi sistim pas jalan yang dimana rakyat tidak boleh berpergian semaunya dan perdagangan bebas dilarang,
Pada era itu Gubernur Jenderal Daendels memberi perintah supaya gubernur dan komandan militer untuk mengumpulkan pemuda untuk dikirim sebagai serdadu ke pulau Jawa dan kalau perlu dengan paksa. Banyak pemuda Maluku yang menolak hal itu karena mereka tidak mau meninggalkan keluarga dan tanah kelahiran mereka, Thomas Matulessi muda juga bersikap yang sama, mereka bersembunyi di hutan-hutan menghindar dari kejaran serdadu-serdadu Belanda.
Tahun 1808 di pantai kota Ambon tentara Inggris menghancurkan tentara Belanda, dan benteng Nieuw Victoria direbut. Ketika Gubernur Heukelvlugt tandatangan surat penyerahan di atas kapal Inggris meriampun dibunyikan, menyusul bunyi tembakan dari benteng Duurstede dan bendera Inggris dinaikkan.
Peta Fort Niuw Victoria - Ambonia |
Karir Thomas Matulessi di tentara Inggris tidak berlangsung lama karena di sebuah ruangan gedung parlemen di London jauh disana tampak utusan-utusan Belanda dan Inggris sedang menandatangani dokumen-dokumen penyerahan Maluku dari Inggris ke Belanda.
Dalam traktat London tersebut salah satunya mencantum bahwa Korp Batalyon 500 yang didirikan oleh Inggris tidak diserahkan kepada Belanda dan harus dibubarkan, karena Belanda tidak mau membayar ongkos ganti rugi pembentukan korp tersebut sebesar 50.000 poundsterling.
Fort Nieuw Victoria - Ambonia |
Begitu Residen Van Den Berg mewakili pemerintah Belanda menjadi Residen Saparua, perdagangan bebas dilarang, kerja rodi dijalankan lagi, transaksi perdagangan dilakukan dengan uang kertas dan kedudukan borgor bagi para mantan Korp Batalyon 500 tidak dianggap.
Akibat kebijasanaan tersebut rakyat resah dan benci dengan Belanda, khususnya para mantan Korp Batalyon 500.
Puncaknya ketika Gubernur Maluku Middelkoop menyuruh sekretarisnya mengeluarkan pengumuman di Ambonia yang berisikan bahwa : “Dalam jangka waktu tiga bulan semua bekas prajurit Inggris, penganggur dan orang asing tanpa pekerjaan atau tanpa surat keterangan dari kepala negeri harus mencari pekerjaan di kota Ambon atau masuk tentara Belanda atau pulang ke negeri masing-masing. Jika tidak mereka akan ditangkap dan diangkut ke Banda untuk dipekerjakan di kebun-kebun pala.”
Lalu pada 4 April 1817 siang di hutan Liang, Thomas Matulessi berbicara dengan kawan-kawannya mantan Korp Batalyon 500 untuk melakukan perlawanan kepada Belanda yang ditindaklanjuti dengan mengirim utusan kepada seluruh rakyat Maluku untuk mengadakan rencana pemberontakan.
Rencana tersebut disambut masyarakat dengan diadakan pertemuan di bukit Saniri negeri Tuhaha pada tanggal 14 Mei 1817, pertemuan itu merupakan musyawarah besar dari semua kapitan dari Saparua, Haruku, Nusalaut dan Seram yang dihadiri oleh :
- Anthone Rhebok (Korp Batalyon 500) dari Saparua;
- Philips Latumahina (Korp Batalyon 500) dari Paperu;
- Said Perintah dari Siri-Sori Islam;
- Lukas Arong Lisapaly dari Ihamahu;
- Slomon Patiwael Tiouw;
- Kapitan Hatipa Patty dari Haruku;
- Kapitan Maleita dari Booi;
- Hehanusa dari Titawaai;
- Kakirusi dari Porta;
- Kakerissa dari Rumahkaai;
- Pariama dari Tihulale;
- Kapitan Kakano Sahetappy dari Seram;
- Kapitan Paulus Tiahahu dari Abubu yang didampingi oleh anak perempuannya Martha Tiahahu.
Lalu Thomas membentangkan dadanya lalu menyuruh salah seorang untuk menikamnya. Mula-mula semua ragu-ragu, tapi kemudian seorang kapitan maju dan dengan sekuat tenaga menombak dadanya Thomas dengan tombak yang dibawa dia, tombak itu patah dua. Kemudian Thomas berkata : “Saya akan memimpin peperangan ini. Jika ada yang keberatan, silakan mengajukan nama pangulu lain.” Semua diam. Tiba-tiba Kapitan Paulus Tiahahu berteriak : "Pengulu perang, Thomas Matulessi....mari kita bersumpah akan patuh pada Thomas Matulessi, Kapitan Pattimura."
Het Fort Duurstede - Saparua |
Pemberontakan Kapitan Pattimura juga diikuti oleh pemberontakan rakyat Seit, Asilulu, Uring, Wakasisihu, dan Larike dibawah pimpinan Kapitan Ulupalu dari Seit dengan menyerang benteng Belanda di Larike. Dan pemberontakan di Hila yang menyebabkan Residen Burgraaf terbunuh.
Dalam penumpasan pemberontakan Kapitan Pattimura, pihak Belanda dibantu oleh putra mahkota Ternate, Pangeran Mohamad Zain (M.Zain) dengan membawa sekitar seribu orang Arafuru Ternate (Halmahera).
Kora Kora |
Tapi akibat penghianatan oleh Raja Booi, Kapitan Pattimura dapat ditangkap oleh Belanda pada tanggal 11 November 1817 di hutan antara Booi dan Haria. Ia ditangkap beserta kawan-kawannya yang diantaranya adalah Kapitan Anthone Rhebok, Raja Said Perintah dan Letnan Philips Latumahina.
Peta Fort Niuw Victoria - Ambonia |
Meskipun Pattimura sudah mati, tapi pemberontakan tetap berjalan terus. Pada 1829 pecah kembali pemberontakan dan juga di Seram terjadi beberapa pemberontakan dan selalu pemimpin pemberontakan tersebut digelari Kapitan Pattimura mengikuti jejak Pattimura yang dihukum mati itu. Nama Pattimura juga dipakai sebagai nama keluarga atau juga sebagai nama bayi laki-laki yang baru dilahirkan terutama di Seram Barat atau tempat terjadinya pemberontakan kecil melawan pemusnahan kebun-kebun cengkeh dan pala oleh Belanda yang di sebut hongi. Sejarah pemberontakan kecil-kecil ini tidak ditulis secara konkret tetapi hanya cerita dari mulut ke mulut sehingga ada yang berpendapat bahwa sosok Pattimura itu adalah beragama Islam. Itu karena cerita rakyat tadi itu, tetapi yang terjadi di Saparua itu adalah Kapitan Pattimura yang sebenarnya.
Daftar Pustaka :
- Alwi, Des (2005). Sejarah Maluku Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon. Jakarta: Dian Rakyat.
- Nanulaita, I.O (1985). Kapitan Pattimura. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
- http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/pattimuraengels.htm
No comments:
Post a Comment