Sunday, December 22, 2024

Sejarah gereja GPIB BETHEL di Tanjungpinang - 14 Februari 1836

Peran Pendeta Eberhard Herrmann Röttger

Pendeta Eberhard Herrmann Röttger (1801-1888)
adalah salah satu tokoh penting yang terlibat dalam pembangunan Gereja GPIB Bethel di Tanjungpinang, dia adalah misionaris dari Jerman yang tinggal selama 8 tahun di wilayah Kesultanan Riau Lingga, kisah hidupnya bisa dibaca dalam catatan yang diterbitkan dengan judul “Berichten omtrent Indie, gedurende een tienjarig verblijf aldaar” (Berita mengenai Hindia, selama tinggal di sana selama sepuluh tahun).

Pada saat itu, tempat ibadah umat Kristen hanya berupa sebuah rumah tua yang sudah sangat tidak memadai. Melihat kondisi tersebut, Pendeta Röttger merasa terpanggil untuk membangun sebuah tempat yang lebih layak bagi umat Kristen. Kehadiran gedung gereja diharapkan dapat memenuhi kebutuhan ibadah masyarakat Kristen, khususnya orang Belanda dan umat Kristen Protestan di Tanjungpinang.

Pendahulu Pendeta Röttger telah merencanakan pembangunan gereja dan mengumpulkan dana dalam bentuk beberapa ratus gulden (mata uang Belanda). Pendeta Röttger melanjutkan perjuangan ini dengan menggunakan dana yang telah terkumpul tersebut, serta memulai langkah-langkah awal untuk mewujudkan pembangunan gereja yang lebih permanen dan representatif.

Kerjasama dengan dengan Residen Riau (Riouw)

Langkah awal yang krusial diambil Pendeta Rottger dengan menjalin komunikasi yang erat dengan Residen Riau (Riouw) saat itu, H. Cornets de Groot. Memahami visi Pendeta Röttger, Residen Cornets menyambut baik usulan pembangunan gereja. Keduanya kemudian menggelar serangkaian diskusi mendalam mengenai rancangan arsitektur, dimensi bangunan, pemilihan bahan bangunan, hingga perencanaan anggaran. Hasil dari diskusi ini adalah kesepakatan bersama untuk segera memulai proyek pembangunan gereja yang telah lama dinantikan

Bantuan dari Banyak Pihak

Memahami pentingnya proyek ini, Pendeta Rottger kemudian menghadap Yang Dipertuan Muda Riau VII Raja Abdul Rahman bin Raja Jaafar, Raja Kesultanan Riau Lingga. Dengan bijaksana, Raja Abdul Rahman menyambut baik permohonan tersebut dan memberikan dukungan yang sangat berarti berupa kayu-kayu berkualitas tinggi serta bahan bangunan lainnya yang diperlukan. Selain itu, Kapitan Cina/Tionghoa dan masyarakat Tionghoa juga turut berpartisipasi aktif dengan memberikan sumbangan baik berupa material maupun tenaga. Bahkan, Jean Chrétien baron Baud, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-44, juga menyatakan dukungannya dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan gereja. Tidak hanya itu, gereja-gereja di Malaka dan Singapura pun turut berpartisipasi dengan menawarkan bantuan apabila terjadi kendala dalam penyediaan bahan bangunan. Dukungan yang begitu luas ini menunjukkan semangat kebersamaan dan toleransi antarumat beragama pada masa itu.

Proses Pembangunan Gereja

Dibangun dalam waktu kurang dari setahun, Gereja GPIB Bethel merupakan hasil kerja keras sekitar 150 pekerja di bawah kepemimpinan Asisten Residen, Wellbehm, seorang ahli bangunan asal Bengal. Proses pembangunan yang relatif cepat ini dimulai dengan peletakan batu pertama pada 14 Februari 1835 dan diakhiri dengan peresmian pada tanggal yang sama tahun berikutnya. Awalnya, gereja ini bernama "De Netherlandse Hervormde Kerk te Tandjoengpinang", yang berarti Gereja Protestan Belanda di Tanjungpinang.

Penghibahan Gereja dari Pemerintah Belanda

Berdasarkan Surat Keputusan Nomor 26 yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 30 Juli 1856, gereja ini di Tanjungpinang secara resmi dihibahkan ke pemerintah Hindia Belanda (Nederlands-Indië). Proses penghibahan ini ditandai dengan penandatanganan oleh Residen Riau (Riouw), Frederick Nicolaas Niewnhuyzen (1819-1892), dan Pengatur Tata Usaha Kantor Residen Riau (Riouw), Joseph Dias. Kemudian, pada 3 April 1955, Pemerintah Indonesia memperkuat status kepemilikan gereja tersebut melalui Surat Keputusan Nomor 10. Dokumen-dokumen legal ini dilengkapi dengan surat ukur tanah yang dibuat oleh Juru Ukur Jacobus Yzemenpada pada 12 Juni 1856. Sebelumnya, lahan di Blok F Tanjungpinang yang menjadi lokasi gereja ini banyak ditumbuhi pohon kelapa.

Perubahan Nama Menjadi GPIB Bethel

Gereja "De Protestantse Kerk in Westelijk Indonesië" atau Gereja Protestan Indonesia bagian Barat yang lebih dikenal dengan singkatan GPIB, resmi diakui sebagai gereja mandiri berdasarkan Surat Keputusan Wakil Tinggi Kerajaan Belanda Nomor 2 Tahun 1948 dan Staatsblad Nomor 305 Tahun 1948. Seiring dengan pengakuan ini, gereja "De Netherlandse Hervormde Kerk te Tandjoengpinang" mengubah namanya menjadi gereja GPIB Bethel. Nama "Bethel," yang memiliki arti "Rumah Tuhan" dalam bahasa Ibrani, diberikan oleh pihak Belanda sebagai simbol rumah peribadatan bagi umat Kristen. Perubahan nama ini disahkan oleh Ketua Dewan Sinode Persekutuan Kristen Wilayah Indonesia, D.S. C. Ch. Kainawam, dengan sekretaris J.M. Achterkamp.

Pengubahan Status Tanah dan Pendirian Bangunan Gereja

Meskipun telah dihibahkan dan statusnya sebagai gereja telah berubah, tanah di mana gereja GPIB Bethel berdiri masih berstatus "verponding" atau tanah milik pemerintah Belanda hingga tahun 1957. Pada tahun tersebut, Kepala Daerah Kabupaten Kepulauan Riau, Th. Sokmartono HS, mengeluarkan izin kepada H. Syaranamual, seorang warga negara Indonesia, untuk mendirikan bangunan gereja sesuai dengan hukum kepemilikan tanah Indonesia. Pengukuran ulang tanah pun dilakukan oleh Badan Pekerja Gereja Protestan Indonesia

Gereja Ayam

Gereja GPIB Bethel di Tanjungpinang yang kerap dijuluki Gereja Ayam ini telah mengalami beberapa kali renovasi sepanjang sejarahnya. Menara yang ikonik, lengkap dengan patung ayam di puncaknya, diperkirakan dibangun pada periode renovasi antara tahun 1920 hingga 1930-an. Patung ayam yang terbuat dari besi pipih ini tidak hanya berfungsi sebagai penunjuk arah angin, tetapi juga memiliki makna simbolik yang mendalam.

Bentuk patung ayam yang dapat berputar 180 derajat mengikuti arah angin menjadikannya sebuah elemen yang dinamis dan menarik perhatian. Lebih dari sekadar hiasan, patung ayam ini merujuk pada kisah dalam Alkitab tentang Simon Petrus yang menyangkal Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok. Simbol ini mengingatkan umat Kristiani untuk senantiasa teguh dalam iman dan tidak mudah goyah dalam menghadapi cobaan, sebagaimana Petrus yang akhirnya menyadari kesalahannya.

Di Belanda, hiasan puncak berupa patung ayam jantan atau gallus yang berfungsi sebagai penunjuk arah angin (ventilogium) sangat populer pada masa lampau. Namun, asal-usul pasti penggunaan patung ayam sebagai simbol keagamaan di Indonesia masih menjadi misteri.

Daftar Pustaka:
  • Jurnal Pendidikan dan Konseling Volume 4 Nomor 3 Tahun 2022; E-ISSN: 2685-936X dan P-ISSN: 2685-9351;Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai.
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Protestan_di_Indonesia_bagian_Barat
  • http://tpismg.blogspot.com/2010/09/sekilas-gereja.html
  • https://hima.fib.ugm.ac.id/infografis-selayang-pandang-gereja-tertua-di-tanah-gurindam/

No comments:

Perbedaan LUTHERAN dan CALVINISME

Lutheranisme dan Calvinisme adalah dua tradisi utama dalam Reformasi Protestan yang muncul pada abad ke-16. Meskipun keduanya berbagi bebera...